Minggu, 06 September 2015

Laporan Pendahuluan Askep Halusinasi

KONSEP DASAR HALUSINASI


Pengertian

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (WHO, 2006)

Halusinasi adalah satu persepsi yang salah oleh panca indera tanpa adanya rangsang (stimulus) eksternal (Cook & Fontain, Essentials of Mental Health Nursing, 1987).

Halusinasi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses diterimanya, stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi (Yosep, 2009)


Klasifikasi Halusinasi

Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu, diantaranya :
  1. Halusinasi pendengaran : karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
  2. Halusinasi penglihatan : karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
  3. Halusinasi penghidu : karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti : darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum. Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
  4. Halusinasi peraba : karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
  5. Halusinasi pengecap : karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan.
  6. Halusinasi sinestetik : karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.


Etiologi
  1. Faktor predisposisi
    Faktor predisposisi adalah factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya. Factor predisposisi dapat meliputi factor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetic. (Yosep, 2009)
    • Faktor perkembangan
      Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
    • Faktor sosiokultural
      Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang membesarkannya.
    • Faktor biokimia
      Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stress yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytrenferase (DMP).
    • Faktor psikologis
      Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Berpengaruh pada ketidakmampuanklien dalam mengambil keputusan demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
    • Faktor genetic
      Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

  2. Factor presipitasi
    Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, penasaran, tidak aman, gelisah, bingung, dan lainnya.
    Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :
    • Dimensi fisik
      Halusinasi dapat timbul oleh kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penyalahgunaan obat, demam, kesulitan tidur.
    • Dimensi emosional
      Perasaan cemas yang berlebihan atas masalah yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi berupa perintah memaksa dan menakutkan.
    • Dimensi intelektual
      Halusinasi merupakan usaha dari ego untuk melawan implus yang menekan merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien.
    • Dimensi sosial
      Klien mengalami interaksi sosial menganggap hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahyakan. Klien asyik dengan halusinasinya seolah merupakan temapat memenuhi kebutuhan dan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak di dapatkan di dunia nyata.
    • Dimensi spiritual
      Secara spiritual halusinasi mulai denga kehampaan hidup, ritinitas tidak bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.


Manifestasi Klinis

Menurut Hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan halusinasi adalah sebagai berikut:
  1. Bicara sendiri.
  2. Senyum sendiri.
  3. Ketawa sendiri.
  4. Menggerakkan bibir tanpa suara.
  5. Pergerakan mata yang cepat
  6. Respon verbal yang lambat
  7. Menarik diri dari orang lain.
  8. Berusaha untuk menghindari orang lain.
  9. Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
  10. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
  11. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
  12. Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
  13. Sulit berhubungan dengan orang lain.
  14. Ekspresi muka tegang.
  15. Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
  16. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
  17. Tampak tremor dan berkeringat.
  18. Perilaku panik.
  19. Agitasi dan kataton.
  20. Curiga dan bermusuhan.
  21. Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
  22. Ketakutan.
  23. Tidak dapat mengurus diri.
  24. Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003), seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:
  1. Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
  2. Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
  3. Gerakan mata abnormal.
  4. Respon verbal yang lambat.
  5. Diam.
  6. Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
  7. Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.
  8. Penyempitan kemampuan konsenstrasi.
  9. Dipenuhi dengan pengalaman sensori.
  10. Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
  11. Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada menolaknya.
  12. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
  13. Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
  14. Berkeringat banyak.
  15. Tremor.
  16. Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
  17. Perilaku menyerang teror seperti panik.
  18. Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
  19. Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi.
  20. Menarik diri atau katatonik.
  21. Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks.
  22. Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang



Fase Halusinasi

Halusinasi yang dialami oleh klien biasanya berbeda intensitas dan keparahannya. Fase halusinasi terbagi empat:
  1. Fase Pertama
    Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian. Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini menolong untuk sementara.
    Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
  2. Fase Kedua
    Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi.
    Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya.
    Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.
  3. Fase Ketiga
    Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Halusinasi memberi kesenangan dan rasa aman sementara.
  4. Fase Keempat.
    Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.


KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HALUSINASI


Pengkajian
  1. Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat, tanggal pengkajian, nomor rekam medic
  2. Faktor predisposisi merupakan factor pendukung yang meliputi factor biologis, factor psikologis, social budaya, dan factor genetic
  3. Factor presipitasi merupakan factor pencetus yang meliputi sikap persepsi merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif, kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan penanganan gejala stress pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang penuh dengan stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.
  4. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan social dan spiritual
  5. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas motorik, alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat kosentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri.
  6. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif maupun maladaptive
  7. Aspek medic yang terdiri dari diagnose medis dan terapi medis

Pada proses pengkajian, data penting yang perlu diketahui saudara dapatkan adalah:

1. Jenis halusinasi
Berikut adalah jenis-jenis halusinasi, data objektif dan subjektifnya. Data objektif dapat dikaji dengan cara melakukan wawancara dengan pasien. Melalui data ini perawat dapat mengetahui isi halusinasi pasien.

Jenis halusinasi
Data objektif
Data subjektif
Halusinasi dengar
-      Bicara atau tertawa sendiri
-      Marah-marah tanpa sebab
-      Menyedengkan telinga kearah tertentu
-      Menutup telinga
-       Mendengar suara atau kegaduhan
-       Mendengar suara yang bercakap-cakap
-       Mendengar suara menyuruh melakukan sesuatu yang berbahaya
Halusinasi Penglihatan
-      Menunjuk-nunjuk kearah tertentu
-      Ketakutan pada sesuatu
Yang tidak jelas
-       Melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk kartoon, melihat hantu atau monster
Halusinasi penghidu
-      Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu
-      Menutup hidung
-       Membaui bau-bauan sperti bau darah, urin, feces, kadang-kadang bau itu menyenangkan
Halusinasi pengecapan
-      Sering meludah
-      Muntah
-       Merasakan rasa seprti darah, urin atau feces
Halusinasi
Perabaan
-      Menggaruk-garuk permukaan kulit
-       Mengatakan ada serangga dipermukaan kulit
-       Merasa seperti tersengat listrik

2. Isi halusinasi
Data tentang halusinasi dapat dikethui dari hasil pengkajian tentang jenis halusinasi.

3. Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Kapan halusinasi terjadi? Apakah pagi, siang, sore atau malam? Jika mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya halusinasi apakah terus menerus atau hanya sekal-kali? Situasi terjadinya apakah kalau sendiri, atau setelah terjadi kejadian tertentu. Hal ini dilakukan untuk menetukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasinya dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.

4. Respon halusinasi
Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul. Perawat dapat menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi timbul. Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan pasien. Selain itu dapat juga dengan mengobservasi perilaku pasien saat halusinasi timbul.


Diagnosa Keperawatan
Menurut Yosep, 2009 diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
  1. Gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan
  2. Isolasi sosial
  3. Resiko periaku mencederai diri
  4. Harga diri rendah


Rencana Tindakan Keperawatan

1. Gangguan persepsi sensori halusinasi penglihatan

2. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi :
  • Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya
  • Pasien dpat mengontrol halusinasinya
  • Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal
3. Tindakan keperawatan

1) Membantu pasien mengenali halusinasi
Untuk membantu pasien mengenali halusinasi saudara dapat melakukannya dengan cara berdiskusikan dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusiansi muncul dan respon pasien saat muncul.

2) Melatih pasien mengontrol halusinasi.
Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi saudara dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara tersebut meliputi :

a) Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak mempedulikan halusinasinya. Kalau ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi tetap ada namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti apa yang ada dalam halusinasinya.

Tahapan tindakan meliputi :
  • Menjelaskan cara menghardik halusinasi
  • Memperagakan cara menghardik
  • Meminta pasien memperagakan ulang
  • Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien.

b) Bercakap-cakap dengan orang lain
Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan halusinasi orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi; focus perhatian pasien akan beralih dari halusiansi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain.

c) Melakukan aktifitas yang terjadwal
Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri dengan aktifitas yang teratur. Dengan beraktifitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien mengalami halusinasi biasa dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara beraktifitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu.

Tahapan intervensinya sebagai berikut :
  • Menjelaskan pentingnya aktifitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi
  • Mendiskusikan aktifitas yang dilakukan pasien
  • Melatih pasien melakukan aktiftas
  • Menyusun jadwal aktifitas sehari-hari sesuai dengan aktifitas yang telah dilatih. Upayakan pasien mempunyai aktifitas dari bangun pagi sampai tidur malam, 7 hari dalam seminggu.
  • Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan penguatan terhadap perilaku pasien yang positif.
d) Menggunakan obat secara teratur
Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk menggunakan obat secara teratur sesuai dengan program. Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah seringkali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Bila terjadi kekambuhan maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Untuk itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan berkelanjutan.

Berikut ini tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat:
  • Jelaskan guna obat
  • Jelaskan akibat bila putus obat
  • Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat
  • Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis)

5. Implementasi
Menurut Depkes, 2000 Implementasi adalah tindakan keperawatan yang disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah di rencanakan perawat perlu memvalidasi rencana tindakan keperawatan yang masih di butuhkan dan sesuai dengankondisi klien saat ini.


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,L.J., Buku saku diagnosa keperawatan, EGC, Jakarta, 1995.

Keliata,B.A. SKp, M.App, Sc, Proses keperawatan kesehatan jiwa, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta 1999.

Kumpulan bahan kuliah, Ilmu Keperawatan Jiwa, tidak diterbitkan.

Rasmun, SKp, Keperawatan kesehatan mental psikiatri terintegrasi dengan keluarga, tidak diterbitkan.

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J.,Principles and practice of psychiatric nursing (5th ed) St louis :Mosby Year Book, 1995.

Stuart, G.W. dan Laraia, M.T.,Principles and practice of psychiatric nursing (6th ed) St louis :Mosby Year Book, 1998.

Townsend, M.C., Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri: pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan, EGC, Jakarta, 1998.